dulu seribu sekarang tinggal beberapa.




   Ya, Banjarmasin dulunya di kenal orang dengan istilah sebutan "seribu sungai" dimana banyaknya sungai-sungai di Banjarmasin dan hampir semua orang beraktivitas menggunakan sungai, TAPI!!! itu dulu semenjak sebelum adanya jalan raya yang bagus dan banyaknya kendaraan bermotor. mungkin beberapa puluh tahun kedepannya lagi sungai akan sepi oleh orang-orang dan tidak terkecuali pasar terapung, jika tidak di pertahankan oleh kita masyarakat Banjarmasin kemungkinan akan hilang juga tertelan zaman. ini yang sangat saya khawatirkan beberapa hari ini.




dan saya bersama teman-teman komunitas PCC beberapa orang sebut saja Khai, Fahri (Ayahnya para Ibu) dan 1 orang dari UNJ (Universitas Negeri Jakarta) yang biasa di panggil Abi, melakukan perjalan menyusuri sungai di daerah Mantuil yang masih masuk Wilayah Banjarmasin, kami mencoba mengexplore sungai di daerah Mantuil dan itu sangat mengasikkan dimana masyarakat yang menyambut kami rami dan sesekali berkata "masuk TV mana dan masuk Koran mana?" ini yang sering masyarakat tanyakan jika kalian membawa kamera dan turun ke ruang publik masyarakat pasti akan ada pertanyaan seperti itu yang muncul dari beberapa orang percaya deh, sesekali kalian bisa bercanda dengan mereka. setelah sekian lama kami mondar mandir sekaligus mencari Kelotok (sampan) dan akhirnya kami bisa mendapatkan kelotok berkat di bantu ibu-ibu yang kebetilan lewat dan minta foto hehe.


setelah bercanda beberapa menit dengan ibu tadi kami pun beranjak pergi ke sungai dan menuju Lanting (Rumah yang mengapung di pinggir sungai) bersama paman kelotok berserta cucunya yang masih kecil. kami pun menikmati saat menaiki kelotok dengan bunyi kelotok yang sangat nyaring (keras) membuat kita harus berteriak saat berbicara. ini yang saya rindukan waktu kecil waktu pertama kali saya naik kelotok bersama keluarga.





kami pun tiba di Lanting, dan langsung turun dari kelotok untuk menginjakan kaki di rumah apung, rasanya goyang-goyang, membuat saya bergoyang dan membuat semuanya bergoyang saat berada di atasnya. jika ada gelombang besar bergegas lah mencari pegangan agar tidak jatuh ke sungai. nahh sebelum memotret Abi dari UNJ bertanya-tanya dulu tentang Lanting dengan orang yang mendiami lanting beberapa puluh tahun. teman saya pun melontarkan pertanyaan "bedanya sungai dahulu lawan sekarang apa bu?". "dahulu sungai rami banar banyak urang bejualan mulai dari buah-buahan wadai lawan jua Rombong (kelotok yang pakai atap dan jual makanan), tapi wahini kedida lagi Rombong, lawan jua pendapatan sehari-hari mencukupi ja kada kaya dahulu rami" ujar ibu Haji yang diam di lanting beberapa puluh tahun tersebut.

Nahhh oleh karena itu jaga dan lindungi budaya kita sendiri jangan sampai punah termakan zaman, sayang jika istilah Seribu sungai yang sering dikenal orang luar menjadi hilang. yang supan siapa jua kita jua buhan urang Banjarmasin. semoga semua ini menyadarkan kita akan pentingnya sungai dan Banjarmasin kedida sungai atau kedida air ngalih kita hidup.


9 komentar:

  1. mungkin agar tidak hilang diadakan event tahunan yang dirayakan di sungai, seperti dikami itu punya sungai cisadane, setiap ulang tahun tangerang selalu ada eventnya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalo event setiap tahun sih ada dari Pemerintah seperti event Pasar terapung yang di adakan setahun sekali dengan menampilna semua kebudayaan yang ada di kalimantan selatan tapi itu belum cukup untuk mengembangkan budaya, mungkin harus ada gerakan yang lainnya hehe

      Hapus
  2. well, selamat datang di kota industri Banjarmasin. Terlepas dari romantisme masa lalu, kenangan sungai bagi sebagian penduduk masyarakat Banjarmasin tentu sudah melekat di ingata. Kembali kepada kenyataan, masyarakat yang tinggal di pinggiran kota entah itu sekitar Sungai Tabuk, Kuin, Alalak masih mempertahankan budaya sungai.

    Gw rasa, kota Banjarmasin tidak terlalu menjual di sektor wisata sungainya yang stagnan dan begitu-begitu saja. Ingat, masyarakat kita adalah masarakat oral, kelangsungan dan peninggalan budaya Banjar (masyarakat kota Banjarmasin) hanya menjadi wacana konsumerisme pariwisata dan alat politik. Bukan pesimis, masyarakat perlu makan dan mencari usaha di sungai tentu bukan pilihan tepat untuk Banjarmasin yang bakal dicanangkan dijadikan kota metropolitan. Seribu sungai menjadi seribu lahan parkir dan hotel, dan itu kenyataannya.

    Disatu sisi, kesadaran masyarakat sekitar juga kurang, masih banyak yang buang kotoran di sungai dan pencemaran limbah menjadikan sungai banjarmasin tidak terlalu berpotensi. Lebih baik, pemerintah daerah fokus kepada sungai perawan yg masih belum di jamah oleh pembangunan. cmiiw.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Super sekali bro wkwkw

      benar "kurang menjual wisata sungainya" Banjarmasin kan dikenal orang dengan banyaknya sungai dan tujuan orang luar ke Banjarmasin ya ingin melihat sungai yang beraneka ragam muali dari pasar terapung , Rumah Lanting dan lain-lain.

      saya lihat sih sudah ada gerakkan dari pemerintah ntuk membersihkan dan membangun sungai di daerah Vetran, dan sebentar lagi patung Bekantan yang ada air mancurnya akan selesai akhir tahun ini.

      Hapus
    2. Kalau gw pribadi menganggap ,Banjarmasin sudah terlalu tercampur dan tidak terlalu Banjar karena berbagai budaya sudah tumplek blek disini, meskipun berada dipinggiran sungai. Perubahan masyarakat berorientasi sungai menjadi darat tak bisa di pungkiri. Katanya asal Banjar itu berasal dari Pangeran Suriansyah yang menyuruh rakyatnya untuk berbanjar di sekitar sungai (tersusun) dan jadilah banjarmasin. But, sebenarnya orang luar ke Banjarmasin bukan untuk berwisata, tapi berinvestasi dimana Banjarmasin sebagai base-nya (alasan kenapa banyak hotel).
      Bagus sih pembersihan sungai dan pembangunan landmark baru sekitar siring, mirip dengan Losari di Makassar. Tapi menurut gw Banjarmasin selalu menjadi kota kelas B, tidak seperti tetanggnya. Lihat saja industri disana lebih maju.
      Mengandalkan budaya lokal untuk pariwisata sah-sah aja, tapi seperti literatur yg gw baca. Budaya lokal hanya akan menjadi alat kapital untuk mencari keuntungan, bukan untuk kearifan lokal.*mohon maaf atas penjelasan njelimetnya.
      Contoh mudahnya, tari kecak di bali di komersilkan untuk turis asing. Disatu sisi seniman dapat imbalan, tetapi disatu sisi terlalu komersil.

      Hapus
    3. wisata di Banjarmasin yang banyak orang tau sih cuman pasar terapung, kalo bisa wisata yang lain di kembangkan, ditata dengan rapi biar orang pada tahu bukan pasar terapung aja yang ada di Banjarmasin. itu harapan saya dari pemerintah.

      kalo untuk komersil atau dapat imbalan dari seniman itu sih menurut saya bagus saja, karena dari situ juga para seniman mendapat penghasilan dan di sisi lain budayanya banyak di kenal orang.

      Hapus
    4. pernah ada wacana sih kalau seni yg terlalu di komersilkan nilai seninya berkurang om, dan wacana itu ada di bali dimana tari kecak sudah terlalu dikomersilkan.
      well, ini ide ane untuk wisata di Banjarmasin.
      Kalau daerah tamban, ada track racing untuk balapan kelotok.
      terus bikin olahraga lokal dengan sistem kompetisi daerah (ane masih rahasiakan dan mengkonsep).
      Ya, kalau mau liat dari dekat. Sebenarnya pasar sudimampir berpotensi menjadi seperti Malioboro, tapi susah karena aturan parkir dan tetek bengek pemerintahan kita.

      Hapus
  3. dulu waku kecil tinggal di kuin dan serin banget liat rumah lanting, dan seperti yang dikatan bro qory masyarakat banjar yang dulunya tinggal di sungai sudah pindah ke daratan dengan berbagai alasan dan kemudahan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. btw ikm pernah kecil kah gung wkwk nahh, karena banyaknya masyarakat yang menggunakan darat oleh karena itu lah pasar terapung di letakkan di sungai pinggir jalan biar para masyarakat dapat menikmatinya. tapi di satu sisi pasar terapung yang di lok baintain lama-kelamaan akan sepi.

      Hapus

 

Pengikut